Hampir semua orang tahu tentang pengumuman pencalonan pasangan pencalonan SBY-Budiono ini, atau dengan jargonnya SBY Berbudi. Ya, iyalah, diliput Metro TV selama satu jam π Satu-satunya yang pengumuman pencalonannya paling bombastis dan menarik dibandingkan dengan calon-calon lainnya. Belum lagi pidato kedua pasangan SBY Budiono + pembacaan persetujuan dari gabungan partai-parta koalisinya yang cukup meyakinkan π Memang SBY Berbudi ini patut dipuji untuk soal komunikasi massanya. EO ama humasnya tum sukses SBY Budiono ini keren banget.
Semua orang juga tahu kalau SBY Budiono ini mengumumkan pengokohon pencalonan capres cawapresnya di Gedung Sabuga ITB. Nah yang ini banyak bikin mahasiswa ITB yang mau pulang kuliah menggerutu :D. Saya harus jalan dari gerbang belakang ke gerbang depan sejauh 300m untuk nyari angkot Sadang Serang – Caringin dan acara kuliah umum operation research dari Pak Paulus Suryono, Chevron, Β atas undangan OPPINET ITB harus dipercepat. Belum lagi ribuan mahasiswa yang harus jalan kaki ke tempat kos mereka di sekitar Cisitu + Taman Hewan dan motornya kejebak π
Pilihlah pasangan yang terbaik. Jika tidak ada satu pun yang memenuhi kriteria, maka pilihlah yang terbaik dari yang buruk-buruk itu.
Nah, ketika saya berjalan kaki dari gerbang belakan ke gerbang depan tersebut, ada sekumpulan massa dari KAMMI (saya inget banget benderanya lagi dikibar-kibarin di mobuil pickup) sedang berdemonstrasi di depan Kebun Bonbin. Jelas ini bukan lagi ngedemo Bonbin yang kata mitos gak jelas bisa bikin mahasiswa ITB yang masuk jadi lama lulus, ya :P. Ya, isi demonya seputar penentangan SBY berpasangan dengan Budiono karena (katanya) Budiono menganut paham neo-liberal.
Nah, itu yang mau jadi topik pembahasan saya kali ini. Entah untuk apa alasan KAMMI memprotes keputusan SBY untuk memilih Budiono sebagai pasangannya tersebut. Karena dalam mata orang awam seperti saya, tidak ada tindakan yang sama sekali salah dari SBY tersebut dalam memilih Budiono (mungkin kecuali karena komunikasi satu arah SBY terhadap koalisinya). Saya pikir suka-suka SBY, dong, mau memilih cawapres sama siapa saja. Toh cuman cawapres, bukan wapres beneran. Tidak akan timbul yang namanya aset-aset negara diprivatisasi atau penambahan pinjaman IMF dan lainnya. Itupun kalo benar Budiono berpaham neoliberal. Dengan demikian, di mata saya KAMMI sibuk berkoar-koar hanya mengutarakan sesuatu yang belum pasti dan terkesan memaksakan kehendak.
Dalam logika rasional saya, yang saya lakukan ketika saya tidak suka dengan satu pasangan capres-cawapres yang ada adalah dengan memilih pasangan lainnya. Jika tidak ada pasangan yang lebih baik daripada SBY-Budiono ataupun memang tidak ada sama sekali yang sesuai dengan kriteria, maka pilihlah yang terbaik dari yang terburuk itu. Misalnya, saya merasa bu Mega tidak cocok dengan kriteria yang saya ketahui, lalu apakah saya harus mendemo agar bu Mega mengundurkan diri dari pencalonan capres? Toh masih ada dua pilihan lain yaitu JK-Win dan SBY Budiono.
Jadi, bagi saya yang orang awam ini, tindakan KAMMI itu hanya ekspresi emosional semata ketika pasangan yang mereka jagokan, dalam hal ini mungkin SBY, ternyata berpasangan dengan figur yang menurut mereka tidak sesuai dengan kriteria yang dimiliki. Padahal PKS sendiri akhirnya setuju π Sangat disayangkan memang, mengingat terdapat cukup banyak massa dari ITB di KAMMI yang seharusnya dapat berpikir secara lebih rasional. Kalo berpikir emosioanal semata, bisa-bisa adu jotos seperti yang sering terjadi di DPR atau seperti kemaren pas wisuda April tuh.